Halaman

Selasa, 15 Februari 2011

Tugas I (semester II)

Masalah Industrialisasi

Banyak anggapan bahwa industrialisasi merupakan keharusan dari setiap bangsa yang ingin maju. Hingga akhirnya maju mundurnya suatu bangsa bahkan diukur dengan keberhasilannya dalam melaksanakan industrialisasi.
Tetapi pengalaman membuktikan bahwa Industrialisasi bukanlah sekedar masalah menghasilkan barang, tetapi menghasilkan barang yang selanjutnya bisa dijual. Untuk menghasilkan barang diperlukan kemampuan teknologi dan modal, dan untuk bisa menjual barang yang dihasilkan, barang yang bersangkutan harus memenuhi keinginan dan selera konsumen, sekaligus cukup murah, atau lebih tepat, terjangkau daya beli konsumen.
Data empirik pembangunan ekonomi selama dekade 1970-1980 menunjukkan bahwa pembangunan industri kita telah berjalan relatif cepat, sehingga seorang pengamat asing sudah bisa mengatakan bahwa “dengan standart internasional sektor industri manufaktur indonesia telah berkembang pesat, sehingga indonesia kini menjadi salah satu produsen barang-barang manufaktur terbesar di kalangan negara-negara berkembang.”
Kalangan pemikir pemerintah biasanya cukup puas dengan penampilan yang dicapai. Misalnya Moh. Anwar Ibrahim dengan nada amat positif menulis sebagai berikut : “Pertumbuhan Industri Indonesia secara keseluruhan memenuhi harapan yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita I & II. Masalah-masalah yang timbul merupakan gejala perkembangan yang wajar dalam negara berkembang sehingga tidak perlu menyebabkan kecemasan.”
Tetapi apabila penilaian diberikan oleh penulis di luar kalangan pemerintah gambaran yang diberikan biasanya berbeda : “banyak kemajuan yang telah dicapai dalam peningkatan produksi barang-barang industri sejak pemerintah orde baru.namun jika dianalisa ciri-ciri indusri indonesia yang berkembang selama ini, terutama sektor manufaktur, kebanyakan diantaranya tidak memenuhi tujuan-tujuan dan kriteria-kriteria seperti yang digariskan dalam berbagai repelita, yaitu dengan menggunakan banyak tenaga kerja, menghemat dan menghasilkan devisa, dan menggunakan bahan baku lokal.”
Kiranya bsa disimpulkan bahwa industrialisasi di Indonesia bukanlah masalah yang sederhana. Disamping modal fisik dan sumber alam, manusia harus menjadi pelaku utamanya yang mengendalikan dan melakukan transfer dan transformasi teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Indonesia yang sudah ketinggalan dalam industrialisasi karena penjajahan yang lama, kini menghadapi tantangan yang berat untuk mengejar ketinggalan itu, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan penduduknya yang besar dan tumbuh dengan cepat.


  1. Strategi pemasaran
Bahwa masalah industrialisasi adalah masalah memproduksi dan menjual, Kiranya memang merupakan kunci untuk memahami masalah industrisasi di negara kita. Masalah industrialisasi bukanlah hanya meningkatkan kemampuan bangsa untuk semakin banyak memproduksi barang dan jasa di dalam negeri atau meningkatkan mutunya, tetapi juga pada saat bersamaan, meningkatkan kemampuan menjualnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Apakah kedua tujuan itu telah kita capai? Memang rasanya belum. Kita masih menekankan pada upaya meningkatkan kemampuan memproduksi. Dan itu pun masih sering keliru yaitu menekankan pada pendekatan keuntungan dagang, memperdagangkan teknologi, atau barang-barang hasil teknologi dan bukan pada perkembangan kemampuan teknologi atau penguasaan teknologi bangsa.
Pernyataan yg demikian memang cukup tajam dan menyentuh strategi pembangunan industri secara fundamental. Marilah kita jelaskan bagaimana argumentasinya.disinyalir oleh dua orang penulis yaitu Mari Pangestu dan Boediono, bahwa kebijaksanaan proteksi dan pembangunan industri di masa kemerdekaan rupanya tidak berbeda dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial. Apakah kenyataan demikian tidak mengherankan? Atau dapatkah secara a priori kita katakan bahwa kebijaksanaan yang demikian berarti keliru?
Memang pada awalnya kemerdekaan kita mengetahui ada dua kutub pendapat tentang “strategi” industrialisasi dinegara kita. Di satu pihak adalah konsep Dr. Sumitro Djojohadikusuma Menteri Perdagangan dan Industri Kabinet Natsir dan selanjutnya Menteri Keuangan Kabinet Wilopo dan Kabinet Burhanuddin Harahap. Di bawah pengaruh teori Paul Presbich, Dr. Sumitro menganggap industrialisasi amat urgen dan harus ditopang dengan berbangai kebijaksanaan termasuk proteksi terhadap para pengusahanasional. Di pihak lain adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara Menteri keuangan dalam Kabinet Hatta dan Kabinet Natsir, kemudian Presiden de Javasche Bank (bank selanjutnya Bank Indonesia) tahun 1951-1957. Mr. Sjafruddin terang-terangan menentang industrialisasi yang di usulkan Dr. Sumitro karena dianggapnya indonesia belum siap dalam kemampuan teknologi untuk melaksanakannya. Menurut Sjafruddin, akan lebih baik indonesia untuk membangun pertaniannya lebih dahulu, dan baru setelah itu industri dikembangkan dengan mengolah hasil hasil pertanian yang semakin besar dan semakin beraneka warna.
Pada awal peerintahan Orde Baru timbul lagi berbagai perebatan yang hampir serupa. Meskipun akhirnya disepakati dalam GBHN bahwa pembangunan pertanian mendapat prioritas terutama dalam program meningkatkan produksi pangan untuk mencapai swasembada beras yang tercapai setelah 15 tahun, yaitu tahun 1985 namun data empirik menunjukkan bahwa ternyata “gerakan” industrialisasi lebih banyak pendukungnya, terutama dikalangan penentu kebijaksanaan. Barangkali faktor ini saja sudah cukup menerangkan mengapa akhirnya industri (manufaktur) berkembang jauh lebih cepat daripada pertanian.
Mengenai strategi industrialisasi sendiri biasanya orang menyebutkan adanya tiga varian atau pemikiran yang masing-masing mempunyai tokoh dan pengikut yang cukup terwakili baik dikalangan penentu kebijaksanaan maupun di dunia akademik. Ketiga varian itu adalah :
  1. Pendekatan keunggulan komparatif
  2. Transformasi teknologi
  3. Keterkaitan industri
tanpa perlu menunjuk secara tegas tokoh-tokohnya, bisa secara umum disebutkan bahwa varian lebih didasarkan pada teori ekonomi, varian ke dua pada teknologi, dan varian atau pendekatan ketiga pada para pelaksana kebijaksanaan dan program industri pemerintah.
Karena ketiga varian ini mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing maka tidak mungkin setiap varian, secara sendiri-sendiri membentuk strategi yang lengkap dan utuh. Bahkan telah terbukti bahwa pelaksanaan satu varian atau pendekatan tanpa mempertimbangkan pendekatan lain bisa menimbulkan masalah-masalah baru yang kompleks dimana kita kurang siap menghadapinya.

  1. Pembangunan Industri Melalui Proteksi
Mari Pangestu dan Boediono dalam laporannya tentang proteks industri (manufaktur) di Indonesia menunjukkan bahwa kebijaksanaan pemerintah Indonesia nampaknya tidak begitu berbeda dengan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam perlindungan dan pengembangan industri. Yang nampaknya berdeda hanyalah alasan pembenaran proteksi dan instrumen-instrumen yang digunakan.
Pada tahun 1930an pembatasan impor adalah berupa tarif, kouta impor dan lisensi yang ditujukan untuk menghalangi mengalirnya barang-barang impor murah dari jepang, maupun untuk mendorong industrialisasi di dalam negeri. Pada tahun 1980an, ada jauh lebih banyak instrumen dari tarif sampai penjatahan kredit yang mempunyai pegaruh protekif, dan yang diadakan tidak hanya untuk melindungi industri dalam negeri tetapi juga untuk melindungi kelompok tertentu dalam perekonomian, untuk membagi kembali pendapatan, mendorong ekspor non migas, dan mendorong penggunaan komponen-komponen yang di produksi dalam negeri.
Dari analisa yang dilakukan kedua penulis, disimpulkan hal-hal yang menarik sebagai berikut :
  1. Meskipun pemerintah Orde Baru sudah cukup maju dalam liberalisasi perdagangan luar negerinya, sehingga mestinya sudah cukup efisien, tokoh sistemnya masih kompleks dan banyak sekali mengadung inkonsistensi.
  2. Meskipun pada dasarnya subtitusi impor ditujukan pada perlindungan terhadap barang konsumsi akhir, maupun data-data empirik sampai 1978 menunjukkan tingkat proteksi yang terus meningkat dengan struktur yang semakin artifisial. Rupanya hal ini disebabkan oleh tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok bercokol melalui hobi-hobi mereka dan juga oleh karena penutupan perusahaan-perusahaab yang tidak efisien biasanya terhambat oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
  3. Karena masih amat kompleksnya sistem proteksi, maka akibat-akibat sampingnya yang tidak direncanakan dan tidak dikehendaki masih cukup banyak, yang amat menyulitkan monotoring dan evaluasi hasil-hasil.
  4. Kelemahan pokok sitem proteksi industri adalah sinkronisasi dan koordinasi yang lemah dan buruk. Berbagai instrumen dan kebijaksanaan seperti penjatahan kredit, subsidi dan perangsang investasi, sistem sertifikat ekspor, sistem penunjukkan agen-agen, dan kouta-kuota impor dirumuskan dan dilaksanakan oleh berbagai lembaga atau departemen yang sangat kurang terkoordinasi.
  5. Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan dab strategi lemahatau kurang tegas, sehingga penyimpangan-penyimpangan sering terjadi, dan ini pada gilirannya semakin mengaburkan kebijaksanaan dan strategi yang telah disepakati.
Menurut Ariff dan Hal Hill ada 4 alasan pokok mengapa industri manufaktur untuk ekspor tidak memegang peranan penting dalam perekonomian indonesia. Alasan-alsan itu adalah :
  1. Rezeki minyak telah sangat mengurangi tingkat keuntungan ekspor non migas dan mengurangi urgensi untuk mengembangkannya
  2. Pasaran domestik sangat besar, paling besar di negara-negara ASEAN
  3. Meskipun upah buruh relatif rendah tetapi faktor-faktor pendukungnya sukar diperoleh atau hampir tidak ada
  4. Pengaturan-pengaturan bidang industri menghambat upaya menaikkan efisiensi industri. Sistem pasar lebih dari negara-negara manapun di wilayah ASEAN dicurigai dan dimusuhi

  1. Konsentrasi Industri
Di samping proteksi yang menimbulkan inefisiensi dalam industri, kecenderungan konsentrasi menuju ologopoli dan monopoli mulai banyak dibahas dan diteliti oleh para ahli dan pengamat. Nurimansyah Hasibuan dalam disertasi UGM tahun 1984 menemukan peningkatan konsentrasi industri ini dalam periode 1975-1980 sehingga menimbulkan apa yang dinamakannya oligo penuh, yaitu menyangkut antara lain industri-industri bir, semen, sepeda motor, mobil, tepung terigu, buah-buahan dalam kaleng, industri kaca lembaran dan industri pupuk. Selain itu terjadi konsentrasi agak kurang, yang disebutnya oligopoli parsial, yaitu meliputi industri-industri rokok kretek, rokok putih, sabun, obat-obatan, kosmetik, bumbu masak, makanan ternak, kertas, pengolahan dan pengawetan daging, plywood, karet bongkah, accu, industri jamu, dan industri mesin listrik.
Kecenderungan konsentrasi industri yang terutama memang disebabkan oleh akumulasi modal, merupakan salah satu sumber inefisiensi karena pada umumnya industri-industri ini menciptakan kapasitas terpasang yang berlebih. Dan meskipun kapasitas pasang yang berlebih ini diciptakan dengan alasan mengantisipasi pasar yang meluas, tetapi tidak jarang digunakan untuk merintangi pihak-pihak lainuntuk memasuki kegiatan industri yang sejenis.

  1. Industri Manufaktur dan Penciptaan Kerja di Pedesaan
Secara teoritis, berdasarkan pengalaman di banyak negara yang industrinya sudah maju, memang sektor industri khususnya industri manufaktur merupakan pahlawan penyelamat masalah pengangguran. Artinya industri manufaktur biasanya menjadi penyumbang paling besar dalam penciptaan kesempatan kerja. Tetapi yang peranan yang demikian tentu saja sangat tergantung pada sifat atau jenis teknologi yang digunakan.apabila teknologi industri bersifat padat karya seperti dalam industri kecil dan dalam industri rumah tangga, maka perananya akan besar. namun yang sebaliknya akan terjadi apabila teknologi yang digunakan padat mdal.
Sementara itu, lokasi perkembangan industri manufaktur bisa berpengaruh berbeda apakah pada umumnya berada di kota atau di pusat-pusat urban atau di pedesaan.apabila perkembangan lebih terpusat di kota-kota terutama kota-kota besar, maka pengaruh positifnya dalam menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan, kecil. Akibatnya tekanan penduduk dipedesaan akan terasa berat dan pada gilirannya akan menekan tingkat upah dan pendapatan di daerah pedesaan.

Jadi kesimpulan dari bacaan di atas adalah dari pengalaman melaksanakan industrialisasi rupanya negara kita masih belum menemukan pola maupun strategi yang tapat, yang menjamin proses pembangunan nasional yang seimbang, serta mampu memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yg dimiliki.
Meskipun industri modern seharusnya bisa diharapkan menyumbang padapeningkatan produlsi barang-barang yang dibutuhkan, dan penciptaan kesempatan kerja, namun rupanya fungsinya sebagai pencipta kesempatan kerja ini tidak begitu besar. Industri kecil dan kerajinan, terutama di pedesaan, rupanya lebih besar peranannya.
Mengingat telah terlihatnnya ekses-ekses konsentrasi industri yang justru menimbulkan inefisiensi, pemerintah wajib membuat perundang-undangan yang tepat untuk mengatasinya.

Sumber : Buku Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia oleh Mubyarto