Halaman

Selasa, 21 Desember 2010

Tulisan IV


Adakah solusi untuk berpikir positif ?

            Adakah solusi total untuk menjadi orang yang berpikir positif ? kalau yang kita maksudkan solusi total itu adalah hasil yang final, tentu jawabannya tidak ada. Tapi bila solusi yang kita maksudkan itu adalah proses yang perlu kita jalankan secara berkelanjutan, tentu jawabannya ada. Kenapa solusinya harus berupa proses yang berkelanjutan ?
            Alasannya sederhana. Berdasarkan praktek yang kita alami sehari-hari, muatan negative yang masuk ke dalam pikiran kita itu adakalanya ciptaan kita sendiri dan adakalanya ciptaan kita sendiri dan adakalanya berupa kiriman dari orang lain atau keadaan. Ini berarti bahwa ada muatan yang masih berada dalam control kita dan ada muatan yang memang di luar control kita.
            Muatan yang ada di dalam control kita adalah muatan pikiran yang kita ciptakan sendiri. Sedangkan muatan yang tidak berada di dalam control kita adalah muatan yang dikirim orang lain, dalam bentuk apapun, kedalam diri kita. Karena ruang pikiran kita sangat rentan kemasukan muatan negative kapan saja dan dimana saja, maka yang dibutuhkan disini adalah solusi dalam bentuk proses. Seperti yang dikatakan dimuka, tidak ada orang yang ruang pikirannya hanya memuat muatan-muatan positif 100% atau muatan negative 100%.
            Lalu proses seperti apa yang bisa diandalkan menjadi solusi ini? Intinya ada dua. Pertama, kita selalu sadar untuk menciptakan muatan positif, dan kedua, kita selalu sadar untuk membersihkan ruang pikiran itu dari muatan-muatan negative yang mungkin berasal dari kita sendiri atau berasal dari luar (orang lain).
            Sebagai contoh  misalnya ada orang mengatakan bahwa kita ini adalah orang yang tidak punya kelebihan apa-apa, gagal terus dalam usaha atau tidak punya bakat untuk berhasil (berprestasi)di bidang kita. Jika ucapan ini yang kita pedomani dan yang kita yakini secara hidup mati, maka kemungkinan besar ucapan ini akan menjadi kenyataan di dalam diri kita. Tapi bila kita berhasil mengeliminasi ucapan negative seperti itu atau menerimanya sebagai tantangan untuk membuktikan diri dengan yang sebaliknya, kemungkinan besar ucapan itu tidak menjadi kenyataan.
“Jangan engkau dekati orang yang selalu menggembosi semangatmu” (Mark Twin)

            Kapankah kita mulai sadar untuk melakukan perlawanan mental terhadap opini-opini negative itu? Kapankah kita mulai sadar untuk menciptakan pikiran positif dan membuang pikiran negatif itu? Jawabannya adalah ketika sudah mulai muncul dorongn untuk berubah ke arah yang lebih baik. Jika dorongan itu kuat, maka kita akan menjadi orang yang sangat sensitive terhadap muatan pikiran yang negative dan yang positif.
Dorongan untuk berubah inin menjadi kunci utama. Mungkin ada pertanyaan, bukankah semua orang di dunia ini pada dasarnya sudah memiliki dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik? Memang benar bahwa semua orang didunia ini memiliki dorongan untuk berubah. Tetapi, yang dimaksudkan dorongan disini bukan sembarang dorongan, melainkan dorongan yang benar-benar dorongan atau dorongan yang menyandarkan kita untuk melakukan sesuatu guna mewujudkan perubahan.
            Kalau membaca penjelasan Dave Francis & Mike Woodcock (1982), tentang kesungguhan, disana ada tiga tingkatan atau level. Level pertama adalah supervisial (keinginan mulut atau permukaan). Misalnya saja kita sudah menyusun rencana sedemikian rupa namun keinginan kita untuk menjalankannya setengah-setengah atau sama sekali tidak dijalankan. Keinginan demikian pantas disebut keinginan mulut atau keinginan yang levelnya masih dipermukaan. Selain bisa dilakukan semua orang, keinginan seperti ini memang gratis.
            Level keingina kedua disebut underlined. Kita sudah membuat perencanaan dengan alasan-alasan yang cukup mendasar, dan sudah menjalankannya, namun masih kurang sustainable (berkelanjutan). Biasanya, keinginan demikian ini lebih sering berupa keinginan-keinginan yang sifatnya adaptif terhadap masalah. Kita ingin belajar lebih niat karena nilai kita jeblok, kita ingin jadi orang kaya saat terdesak, kita ingin mencari informasi lowongan mati-matian karena mau di PHK, kita ingin mendirikan partai karena sedang musim,dan lain-lain.
            Level keinginan ketiga disebut sustainable (berkelanjutan). Kita punya keinginan, lalu kita perjuangkan sepenuh hati secara terus-menerus dengan alasan-alasan yang cukup mendasar. Dalam bahasa agama, ada dorongan atau keinginan positif yang sudah mendapatkan pahala. Tetapi ada juga yang tidak. Keinginan positif seperti apa yang sudah mendapatkan pahala dan yang belum layak dapat pahala? Keinginan positif yang sudah mendapatkan pahala adalah bentuk keinginan yang kuat dan sudah kita siapkan pelaksanaannya. Sedangkan keinginan positif yang belum mendapatkan pahala adalah berbagai bentuk keinginan yang hanya melintas dipikiran atau keinginan mulut saja.
            Kembali ke pokok persoalan bahwa yang di maksud dorongan untuk berubah itu adalah keinginan yang kuat dan sudah kita persiapkan pelaksanaannya, bukan semata keinginan mulut atau keinginan yang hanya melintas. Jika keinginan yang kuat itu sudah muncul, maka kita akan belajar untuk menciptakan pikiran positif dan belajar untuk menciptakan perlawanan mental terhadap pikiran negative.

“perubahan adalah hasil akhir dari pembelajaran. Perubahan melibatkan tiga langkah. Pertama, ketidakpuasan. Kedua keputusan untuk berubah dan ketiga, kesadaran untuk mengabdikan diri pada proses perkembangan.”
(Dr. Felice Leonardo Buscaglia, American Professor of education)

Sumber : Buku Kedasyatan Berfikir positif oleh A.N Ubaedy (human Learning specialist)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar