Halaman

Selasa, 01 November 2011

Tugas I Semester 3


Kondisi Perkoperasian di Indonesia saat ini

Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002).
Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu :
(i)      Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD;
(ii)     Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
(iii)    Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi” di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja  terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD  sebagai koperasi program  di sektor pertanian didukung dengan program pem­bangunan  untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik  pem­bangunan koperasi.
Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.
         Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program  pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta  menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha  terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
      Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
      Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.
     Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini  telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
Keadaan koperasi simpan-pinjam di Indonesia cukup sulit. Meski banyak koperasi dalam posisi kuat dan menguntungkan, namun lebih banyak lagi yang berada dalam kondisi lemah dan sangat tergantung dana dari pemerintah. Untuk menuju keadaan yang lebih baik mungkin diperlukan pengawasan yang lebih ketat serta membentuk asuransi deposan. Namun kecenderungan yang terjadi sebaliknya, dengan adanya otonomi daerah, banyak koperasisimpan pinjam yang tidak lagi melaporkan kegiatan mereka dan tidak ada mekanisme yang bisa memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut.
Kami mengetahui bahwa saat ini ada rencana agar koperasi simpan-pinjam memberikan laporan secara teratur, setidak-tidaknya bagi mereka yang telah atau ingin menerima dana dari pemerintah. Terdapat 2 kelompok besar koperasi simpan pinjam, yaitu credit union dan baitul mal wa tamwil (BMT) yang melakukan kegiatannya di luar kerangka peraturan yang ada, meski kini mereka sedang mengadakan perubahan Ada Peluang Besar Untuk Koperasi Simpan-Pinjam.
Hal diatas terjadi karena adanya bisa terhadap bank kecil local, meningkatnya persyaratan permodalan bagi BPR (Bank Perkreditan Rakyat) sehingga membuka peluang yang besar bagi koperasi simpan pinjam sebagai lembaga penyimpan dana dengan citra yang baik dan hati-hati. Bank Rakyat Indonesia terus melakukan ekspansi di pasar ini dengan unit desanya dan bank-bank lain juga melakukan hal yang sama. Namun bank-bank tersebut hanya mampu melayani sebagian kecil pasar saja. BPR dan LDKP (Lembaga Daerah Keuangan Pedesaan) sebenarnya memiliki kesempatan yang baik, namun mereka memiliki keterbatasan karena tingginya struktur biaya.
Koperasi simpan pinjam dapat menjaga biaya tetap rendah untuk kredit-kredit kecil sehingga mereka mampu bersaing di pasar secara efektif. Jika mereka dapat terus mengembangkan usahanya dengan baik seharusnya mereka mampu untuk menarik dana para
penyimbang dengan memberikan suku bunga uang yang menarik. Ada beberapa pertanyan yang menarik dan penting. Situasi koperasi tidak jelas, karena kurangnya laporan dan pengawasan. Kami tidak mengetahui bagaimana keadaaan sesungguhnya mengenai koperasi simpan pinjam di Indonesia. Suatu usaha yang telah kami lakukan untuk satu propinsi tertentu menunjukkan bahwa ada kemungkinan proporsi koperasi yang dilaporkan pun lebih kecil beberapa ratus persen dari kondisi yang sebenarnya.
Sebuah studi terakhir yang dilakukan oleh GTZ (Jerman bantu teknis) memperlihatkan beberapa indikator12. Bab 6 dari studi tersebut berjudul “Sektor Koperasi dan Keuangan Mikro”. Kata terakhir, yaitu keuangan mikro, berhubungan khususnya dengan koperasi Swamitra yang terkait dengan bank Bukopin serta TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam), suatu bentuk yang serupa dengan koperasinya Bank Rakyat Indonesia.
Artikel tersebut merangkum kondisi dari aspek hukum dan perundangundangan. Inti dari penemuan dalam artikel tersebut adalah sebagai berikut: “Sektor koperasi di Indonesia merupakan sub-sistem keuangan mikro yang paling buruk administrasinya, kurangnya pegawasan serta kurangnya kepercayaan terhadap laporan yang diberikan merupakan kelemahan yang sangat mendasar. Data yang tersedia bukanlah data yang 6 up-to-date dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk melakukan analisa.”
Materi yang lebih terperinci diberikan untuk Nusa Tenggara Barat. Proporsi kegiatan yang didanai dari deposito hanya sebagian kecil saja, dibandingkan dengan daerah lain. Namun secara keselurahan normalnormal saja. Laporan tersebut menyimpulkan: “Peraturan baru tentang koperasi menyebabkan meningkatnya peluang bagi koperasi untuk berkembang dan berdikari. Terdapat ketentuan mengenai pengawasan dan keuangan yang sehat sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi yang lebih baik lagi.
Namun demikian, terdapat sejumlah masalah yang sangat penting yaitu mewujudkan peraturan tersebut ke tataran praktis. “Hal penting lainnya adalah sejumlah peraturan yang ada tidak terwujud dalam praktek dan yang lebih penting lagi kantor wilayah menteri koperasi setempat tidak dapat melaksanakannya secara efektif. Sanksi berupa pencabutan izin usaha merupakan tindakan yang tidak biasa kepada koperasi simpan-pinjam yang bermasalah. Meski koperasi tidak memberikan laporan sesuai jadwal yang ditemukan, tidak ada tindakan yang diambil oleh kantor Manteri Koperasi mengenai hal tersebut. Kelemahan utama dari sistem koperasi adalah tidak adanya pengawasan dan penegakkan hukum.”

Sumber   :
blog Noer Soetrisno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar